AREMANIA, PORTRAIT OF A SUPORTER

Andi Bachtiar Yusuf, sineas muda yang pernah menggarap berbagai proyek film bertema sepakbola pernah berujar kepada saya bahwa Aremania adalah salah satu kelompok suporter terbaik di dunia. Salah satu dari 5 yang terbaik menurut Arya Abhiseka yang namanya mencuat belakangan ini. Ucup (sapaan karib Andi Bachtiar Yusuf) menunjukkannya kepada dunia lewat film The Conductor yang meraih beberapa penghargaan di berbagai festival film.

Lewat The Conductor tersebut seolah menunjukkan kepada dunia bahwa Aremania memiliki fanatisme yang luar biasa. Fanatisme Aremania ibarat loyalitas tanpa batas, bagi Aremania sendiri sepakbola ibarat kegiatan religius beserta identitas yang memayunginya.

Di tataran fanatisme, Aremania terlihat jauh meninggalkan siapapun dibandingkan kelompok suporter di negara lain di sekitaran wilayah regional Indonesia. “Sesuatu yang belum pernah saya lihat dalam 30 tahun terakhir” ujar Paolo Bertolin seorang programmer asal Italia di festival Film Venice ketika berbincang dengan Ucup beberapa tahun lalu.

Di Indonesia, sepakbola adalah sebuah gairah. Di beberapa kota besar tanah air seperti Malang, Surabaya, Bandung, dan lainnya kegairahan itu ditunjukkan ketika tim dari kota tersebut berlaga. Ketika Arema ataupun Persib bertanding, jalanan di sepanjang kota menjadi lebih sepi dibandingkan biasanya. Tidak banyak orang yang berkeliaran di jalanan meskipun jadwal pertandingan dilangsungkan bersamaan dengan waktu pulang kerjanya karyawan. Sebagian besar menyibukkan diri di depan layar kaca ataupun menajamkan pendengaran sembari memilih frekuensi radio yang tepat dimana satu ataupun dua stasiun radio menyiarkan pertandingan tersebut.

Fanatisme yang ditunjukkan Aremania memang jauh melampaui dari yang dipertontonkan oleh kelompok suporter di beberapa negara ASEAN. Di Singapura, pergelaran final Singapore Cup hanya ditonton kurang dari seperlima dari rata-rata penonton pertandingan Arema di liga.

Dibanding Jepang dan Korea yang sudah maju, mereka boleh memiliki kompetisi sepakbola yang tertata secara profesional dan tontonan yang memikat. Namun menurut Ucup sendiri, untuk urusan heroisme dan fanatisme suporter, Indonesia dan Aremania-lah juaranya.

Fanatisme itu tidak terlahir dengan sendirinya. Di Indonesia fanatisme terhadap sepakbola sudah lahir sejak zaman perjuangan Indonesia dalam menghadapi penjajahan negara asing. Sepakbola adalah wadah perjuangan bangsa Indonesia, dan menjadi salah satu alat yang efektif dalam menggalang semangat nasionalisme rakyat. Di Malang sendiri fanatisme terlahir pesat dalam 3 dekade terakhir dan disatukan dalam wadah berjudul ‘AREMA’. Suporternya sendiri, Aremania bersatu untuk mendukung timnya, dimanapun Arema melanglang memainkan bola.

Karena fanatisme dan kegilaan Aremania-lah yang mampu memagari Arema dari jurang kejatuhan. Fanatisme itu pula yang mampu menyokong kehidupan klub lewat beberapa pintu, tiket pertandingan yang dapat dibeli di setiap pertandingan, ide dan program untuk menghidupkan Arema hingga nilai sebuah komunitas bernama Aremania yang mampu mendatangkan magnet bagi masuknya investor maupun sponsor.

2 Dekade lalu, sederet rerimbunan pohon gaharu di pinggiran Jalan Kawi dan Semeru, Kota Malang menjadi saksi bisu perjalanan Aremania hingga sebesar sekarang. Lewat beberapa sudut tribun Stadion Gajayana fanatisme dan atraktifnya sekelompok suporter itu ditunjukkan. Mereka datang secara heterogen dengan tidak memperdulikan usia, gender hingga status sosial. Mereka datang dengan menumpang truk, mikrolet ataupun berjalan kaki sejauh beberapa kilometer dan beriringan sepanjang jalan.

Idealisme Aremania ketika itu sebagian besar cukup simpel, mereka datang sebagai suporter yang mendukung klubnya bertanding. Mereka tidak peduli jika harga karcis ekonomi yang mereka beli lebih dari cukup untuk ditukar dengan 3-4 liter beras yang mampu mencukupi kebutuhan keluarga yang terdiri dari 4 orang selama hampir seminggu. Bahkan mereka tidak peduli jika selembar tiket itu harus ditebus dengan puasa 1-2 slop rokok yang biasa mereka habiskan selama beberapa hari.

Itulah Aremania, dengan fanatisme yang luar biasa mereka tetap mampu berdiri kokoh dalam konsistensinya untuk mendukung sebuah klub. Mereka berharap pengorbanan yang mereka tunjukkan dibalas oleh sebuah prestasi setimpal oleh klubnya. Ya, esensi sebuah suporter memang ibarat sebagai penyokong garis kehidupan klub. Seringkali mereka tidak perduli terhadap prestasi klub yang awut-awutan atau dikelola secara serampangan. Asal bisa melihat klub bertanding dengan suguhan permainan atraktifnya, itu sudah lebih dari cukup untuk memuaskan kebutuhan rohani suporter. Sebagian lagi tidak malu-malu untuk mengakui bahwa kehadiran mereka di stadion sebenarnya untuk melihat pertunjukan seni atraktif nan kreatif dari gerak lagu dan tari Aremania.

Barangkali diantara seluruh stakeholder Arema, yang paling dikenal dan dikenang Aremania adalah pemain. Dekade lalu, Pacho Rubio dan Rodrigo Araya adalah dua dari sederet pemain Arema yang dikenal luas di kalangan suporter. Pacho Rubio terkenal dengan gol dan headingnya yang memukau tatkala Arema harus bertanding di Senayan. Rodrigo Araya sendiri menjadi salah satu legenda dalam deretan playmaker Arema yang terkenal dengan kemampuan tendangan bebas dan passingnya. Tatkala Rodrigo Araya pindah ke Persijatim yang bermarkas di Stadion Bea Cukai Rawamangun sekitar 11 tahun lalu, banyak suporter yang menyesalinya. Di masa sekarang mungkin Esteban Guillen yang ‘layak’ menjadi pesaingnya.

Aremania memang tidak memiliki payung organisasi yang jelas, otomatis tidak ada pula susunan kepengurusan didalamnya. Jika ada yang menanyakan bagaimana sebuah komunitas suporter tanpa Anggaran Dasar dan Rumah Tangga(AD/ART) bisa berjalan dalam rentan waktu yang lama, maka Aremania-lah jawabannya. Dengan segala keterbatasannya tersebut, mereka mampu mengkonversinya sebagai kelebihan.

Sebelum terbentuknya Aremania, seringkali di media televisi dipertontonkan perilaku arogansi sekelompok suporter ketika mendukung timnya berlaga. Namun anggapan itu perlahan dikikis dengan kehadiran Aremania. Aremania seolah menyulap arogansi itu dengan menjadi suri tauladan suporter lainnya dengan menebarkan virus damai serta menjadi inspirasi bagi kelompok suporter lainnya.

Suatu hal yang menarik dan kemudian mengangkasa setelah konflik Arema berakhir nantinya adalah kembali munculnya pertanyaan klasik. Bagaimana dan dengan cara apa kisah manis Aremania ini akan dibangkitkan kembali? Kapan peristiwa itu terulang menjadi kisah misterius.

Hanya saja siapapun yang berani dengan kepala tegak mampu menegakkan panji Aremania sebagai pendukung kesebelasan Singo Edan, maka ia berkesempatan mengulang kenangan manis Aremania sebagai sebuah potret suporter yang dikemas hebat dalam balutan kreatifitas dan fanatisme.(FZL)

>>> Kisah Sedih seOrang Suami yang SeTia<<<

”Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.

Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Ketika menikah,
aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku.

Di rumah, akulah ratunya.
Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku.
_Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur,
_aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket,
_aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya.
_Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku,
_aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi,

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak.. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil.
Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya

setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke- delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak- anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku.
_Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya .Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami.

Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.

_Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku.

Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat.
Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada.

Tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.

_Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

_Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan
aku duduk termangu memandangi piring kosong. Teringat saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.

Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.

Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali.

Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.

Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari- jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
“Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah melakukan hal yang salah..”